Rabu, 17 Februari 2010

Orang Tengger Pemburu Jamur Grigit


Orang Tengger Pemburu Jamur Grigit
Oleh: Febry Arifmawan

Kisah seorang pencari jamur grigit di sekitar lereng Gunung Bromo. Jalan jauh, menyusuri lereng dengan pendapatan tak seberapa. Potret etos kerja keras “orang gunung”.

Embun masih membasahi rerumputan ketika sepatu boot Pak Kariono menapaki jalan di tepian kawah Gunung Batok. Gunung Batok ini bersebelahan dengan Gunung Bromo dalam gugus Pegunungan Tengger dan masuk wilayah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Biru langit tanpa batas menghiasi perjalanan Pak Kariono pagi itu. Sepatu boot memang perangkat wajib bagi orang-orang Tengger, sebutan bagi masyarakat yang mendiami lereng Bromo dan sekitarnya, ketika mereka beraktifitas di lereng gunung yang terjal dan licin. Setiap dua kali dalam seminggu, Pak Kariono jalan kaki sejauh 13 kilometer dari rumahnya di Desa Sedaeng, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, menuju hutan sekitar kawah Gunung Batok untuk mencari jamur grigit. “Nggak, nggak capek, sudah biasa,” tutur Pak Kariono.

Jamur grigit ini warnanya putih, biasa menempel di ranting atau dahan pohon kering di hutan. Pak Kariono dengan telaten mencari dan mengambil jamur grigit. Lelaki Tengger ini usianya sudah mencapai 50 tahun. Fisiknya masih terjaga, terbukti dari kesigapannya menapaki lereng-lereng bukit. Otot-otot di tangannya pun terlihat ligat. Medan di hutan lumayan berat, terjal, licin, dan harus menyeruak di sela semak-semak yang rimbun. Tidak sebagaimana umumnya tumbuhan, jamur tidak mempunyai klorofil atau zat hijau daun. Makanya kebanyakan jamur berwarna putih seperti halnya jamur grigit. Jamur grigit menempel di batang pohon sebagai tempatnya menyerap makanannya. Jamur memang berbeda dengan organisme pada umumnya, ia memperoleh makanan dengan menyerap zat organik dari lingkungannya. Jamur grigit biasa dikonsumsi oleh orang Tengger sebagai bahan untuk sambal.

Puluhan batang pohon harus dicermati oleh Pak Kariono. Jamur grigit seukuran jari manusia ini dipungut dari permukaan batang pohon. “Banyaknya di batang pohon klandingan,” kata Pak Kariono. Ia kemudian menampungnya dalam keranjang plastik. Kerja keras, dari perjalanan jauh sampai penelusuran medan hutan yang membutuhkan kewaspadaan ekstra.

Matahari tepat di atas kepala, namun panas tak terasa karena mendung menggelayut tebal di atas langit. “Kalau gerimis ya pulang,” kata Pak Kariono. Jamur-jamur kecil sudah terkumpul lumayan banyak. Jika cuaca tak berasahabat Pak Kariono pun pulang lebih cepat dari biasanya. Jamur yang didapat siap dijual. Harganya relatif murah jika dibandingkan dengan tenaga yang dikeluarkan. “Lima ratus sampai seribu rupiah per mangkok. Saya biasa mencari jamur seminggu sekali, rata-rata sekali nyari ya dapat 5-10 mangkok,” tutur Pak Kariono. Bisa dihitung jika ia mendapat 10 mangkok, paling banyak pendapatan yang masuk ke kocek hanya 10 ribu rupiah. Imbalan yang tak seberapa untuk jarak tempuh yang demikian jauh dan cara pencarian yang beresiko.

Rumah Pak Kariono memang jauh dari tempatnya berburu jamur. Tak hanya Pak Kariono, orang Tengger pada umumnya adalah pejalan kaki yang handal. Tiap hari pagi dan sore mereka jalan kaki bolak-balik dari perkampungan menuju ladang. Perkampungannya terpusat di punggung bukit atau lembah. Sementara ladang tersebar di sekitar permukiman. Rumah Pak Kariono ada di tengah perkampungan, bangunan berdinding papan, berlantai tanah, disekat dalam tiga ruangan. Ruang tamu sekaligus balai-balai untuk tidur dan menerima tamu. Lalu terdapat ruang tengah, dihiasi satu lemari kayu dan barang perabotan ala kadarnya. Sementara ruang paling belakang, terletak dapur tradisional. Tidak ada satu barang elektronik pun terlihat. Di rumah ini Pak Kariono tinggal bersama Ibu Sukiati, sang istri. Mereka punya dua orang anak, satu sudah menikah dan mengikuti suami. Sementara satu anak lelakinya, Eko, masih tinggal bersama mereka. Kerjanya jadi buruh tani, tak jauh dari profesi orang tuanya.

Jamur yang didapat tadi tidak bisa langsung dijual. Sebelum dimasak, jamur grigit harus direndam dulu dengan air panas selama sepuluh menit, setelah kotoran hilang baru direndam dengan air dingin selama semalam agar ukurannya membesar. Barulah jamur siap dijual. Penjualannya pun hanya di tetangga sekitar atau di pasar kampung Sedaeng. Betapa berharganya arti uang 10 ribu bagi keluarga ini. Hidup sederhana bahkan pas-pasan harus mereka lakoni. Kesederhanaan ini terlihat dari menu makan mereka sore itu. Hanya ada tempe sebagai teman nasi jagung putih. Ya, jagung yang ditanam oleh orang Tengger memang tidak berwarna kuning, tapi putih. Jagung inilah yang menjadi makanan pokok mereka.

Orang-orang Tengger biasa menanami ladangnya dengan sayur-mayur seperti kol dan kentang. Kondisi geografis di ketinggian mendukung budidaya tanaman ini. Tak semuanya mempunyai lahan sendiri. Banyak pula yang bekerja sebagai buruh tani karena tak memiliki ladang, salah satunya Pak Kariono. Ia dan istrinya menjadi buruh tani bagi para pemilik lahan. Apalagi Pak Kariono tak bisa menyandarkan hidupnya hanya dari mencari jamur saja. Macam-macam pekerjaan yang dilakukan para buruh tani, mulai dari pengolahan tanah, perawatan seperti menyemprot tanaman, hingga memanen dan mengangkutnya keluar dari ladang. “Upah buruh tani antara 10 sampai 12 ribu sehari,” kata Sukiyati. Tidak berbeda jauh dengan hasil mencari jamur, sama-sama minim.

Potret kehidupan Pak Kariono dan Ibu Sukiyati adalah potret kemiskinan warga desa di lereng pegunungan. Pasangan suami istri masih buta huruf. Mereka hidup jauh dari akses transportasi, informasi, dan perputaran barang serta jasa. Kendati tempaan dan beban kerja secara fisik yang luar biasa berat, mereka tak malas dan berpangku tangan. Etos kerja “orang gunung” yang luar biasa. Pak Kariono dan istri pun tak ingin hijrah dari kampungnya, berbondong-bondong menjadi bagian arus urbanisasi. Bagi mereka keheningan dan keaslian alam sangatlah mahal harganya.

Sabtu, 13 Februari 2010

Narasi Kecil tentang Wong Cilik

Mbah Muswito
Oleh: Febry Arifmawan

Perawakannya gempal, bahkan masih atletis untuk orang seusianya, senyum selalu tersungging di sudut bibir dan pipinya yang mulai berkerut dimakan usia. Itulah Mbah Muswito, seorang pedagang mie khas Wonosobo. Mie dengan beraneka cara memasaknya, selalu ada di setiap daerah. Salah satunya mie ongklok, mie kuah tradisional ala Wonosobo, Jawa Tengah ini. Penyajiannya mirip mie ayam, hanya saja kuahnya kental seperti bumbu pecel. Mbah Muswito salah seorang pedagang mie ongklok generasi tua di Kota Wonosobo. Banyak pedagang mie ongklok di kota ini, tapi Mbah Muswito lain dari yang lain. Ia biasa berjualan dengan memikul dagangannya. Mau tahu berapa beratnya? ”Kalau kosongan 50 kilo, kalau sudah diisi dagangan, ya sampailah 70 kilo,” tutur Mbah Muswito.

Setiap pukul 5 sore, Mbah Muswito memulai perjalanan dari rumahnya di Desa Jaraksari, Kecamatan Wonosobo, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Kesederhanaan tercermin dari ayah dengan dua orang anak ini. Rumahnya hanya berdinding papan, dua kamar tidur, serta dapur yang sudah berjelaga di langit-langit ruangan. Satu-satunya barang elektronik hanyalah televisi ukuran 14 inch.

”Teng... teng... teng,” bunyi sendok beradu dengan mangkok. Itu artinya Mbah Mus, demikian ia biasa disapa, melewati jalan dan lorong-lorong Kota Wonosobo. Sejak tahun 1970 Mbah Mus menekuni pekerjaannya sebagai pedagang keliling mie ongklok. Dari umur 25 tahun ia berjualan dengan pikulan. Fisik Mbah Mus masih kuat, terlihat dari badannya yang gempal, juga betisnya yang besar. Bisa jadi pengaruh ”angkat beban” setiap hari yang dilakoninya. Bagaimana kesesuaian antara tenaga dan penghasilan yang didapatnya? ”Rata-rata sehari dapat uang 100 ribu, dipotong biaya belanja masak mie sekitar 80 ribu,” tutur Mbah Muswito cerita ikhwal penghasilannya. Jadi setiap hari dari jualan mie ongklok yang per mangkoknya Rp.3.000 ini, ia hanya mendapat untung sekitar Rp.20.000.

Mbah Muswito masih tetap cekatan di usia 65 tahun. Tangannya terampil melayani pembeli. Mulai memanaskan mie, memindahkannya ke mangkok, meracik bumbu hingga menuangkannya di atas mie hangat. Ia konsisten dengan pikulan, kendati makin banyak pesaing sesama pedagang mie ongklok yang menggunakan gerobag, juga warung mie permanen yang menetap di berbagai sudut Kota Wonosobo. Iklim Wonosobo yang dingin mungkin membuat masakan hangat seperti mie ongklok banyak digemari. ”Saya nggak mau pake gerobag karena nggak bisa masuk ke gang-gang kecil,” kata Mbah Mus memberi alasan kenapa ia tetap memakai pikulan.

Mbah Mus, layaknya pegawai kantoran, punya hari libur, tapi bukan hari Sabtu dan Minggu. ”Setiap Kamis malam dan hari Jumat saya libur, khusus buat berangkat ke pengajian,” tutur Mbah Muswito. Kalimat bersahaja dari Mbah Mus, mencerminkan keseimbangan duniawi dan rohani. Inilah narasi kecil dari salah satu sudut Wonosobo, narasi tentang kesederhanaan dan kebersahajaan, terselip di sela narasi besar tentang naiknya gaji pejabat tinggi, mobil mewah untuk para menteri, rencana pembelian pesawat kepresidenan, dan hiruk-pikuk politik negeri ini. Bisa jadi Mbah Mus tak peduli ataupun tak mengikuti berita-berita itu, yang ia pahami hanyalah bekerja keras menyusuri jalanan Wonosobo yang dingin, demi menunaikan tanggungjawabnya sebagai kepala keluarga.