Sabtu, 13 Februari 2010

Narasi Kecil tentang Wong Cilik

Mbah Muswito
Oleh: Febry Arifmawan

Perawakannya gempal, bahkan masih atletis untuk orang seusianya, senyum selalu tersungging di sudut bibir dan pipinya yang mulai berkerut dimakan usia. Itulah Mbah Muswito, seorang pedagang mie khas Wonosobo. Mie dengan beraneka cara memasaknya, selalu ada di setiap daerah. Salah satunya mie ongklok, mie kuah tradisional ala Wonosobo, Jawa Tengah ini. Penyajiannya mirip mie ayam, hanya saja kuahnya kental seperti bumbu pecel. Mbah Muswito salah seorang pedagang mie ongklok generasi tua di Kota Wonosobo. Banyak pedagang mie ongklok di kota ini, tapi Mbah Muswito lain dari yang lain. Ia biasa berjualan dengan memikul dagangannya. Mau tahu berapa beratnya? ”Kalau kosongan 50 kilo, kalau sudah diisi dagangan, ya sampailah 70 kilo,” tutur Mbah Muswito.

Setiap pukul 5 sore, Mbah Muswito memulai perjalanan dari rumahnya di Desa Jaraksari, Kecamatan Wonosobo, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Kesederhanaan tercermin dari ayah dengan dua orang anak ini. Rumahnya hanya berdinding papan, dua kamar tidur, serta dapur yang sudah berjelaga di langit-langit ruangan. Satu-satunya barang elektronik hanyalah televisi ukuran 14 inch.

”Teng... teng... teng,” bunyi sendok beradu dengan mangkok. Itu artinya Mbah Mus, demikian ia biasa disapa, melewati jalan dan lorong-lorong Kota Wonosobo. Sejak tahun 1970 Mbah Mus menekuni pekerjaannya sebagai pedagang keliling mie ongklok. Dari umur 25 tahun ia berjualan dengan pikulan. Fisik Mbah Mus masih kuat, terlihat dari badannya yang gempal, juga betisnya yang besar. Bisa jadi pengaruh ”angkat beban” setiap hari yang dilakoninya. Bagaimana kesesuaian antara tenaga dan penghasilan yang didapatnya? ”Rata-rata sehari dapat uang 100 ribu, dipotong biaya belanja masak mie sekitar 80 ribu,” tutur Mbah Muswito cerita ikhwal penghasilannya. Jadi setiap hari dari jualan mie ongklok yang per mangkoknya Rp.3.000 ini, ia hanya mendapat untung sekitar Rp.20.000.

Mbah Muswito masih tetap cekatan di usia 65 tahun. Tangannya terampil melayani pembeli. Mulai memanaskan mie, memindahkannya ke mangkok, meracik bumbu hingga menuangkannya di atas mie hangat. Ia konsisten dengan pikulan, kendati makin banyak pesaing sesama pedagang mie ongklok yang menggunakan gerobag, juga warung mie permanen yang menetap di berbagai sudut Kota Wonosobo. Iklim Wonosobo yang dingin mungkin membuat masakan hangat seperti mie ongklok banyak digemari. ”Saya nggak mau pake gerobag karena nggak bisa masuk ke gang-gang kecil,” kata Mbah Mus memberi alasan kenapa ia tetap memakai pikulan.

Mbah Mus, layaknya pegawai kantoran, punya hari libur, tapi bukan hari Sabtu dan Minggu. ”Setiap Kamis malam dan hari Jumat saya libur, khusus buat berangkat ke pengajian,” tutur Mbah Muswito. Kalimat bersahaja dari Mbah Mus, mencerminkan keseimbangan duniawi dan rohani. Inilah narasi kecil dari salah satu sudut Wonosobo, narasi tentang kesederhanaan dan kebersahajaan, terselip di sela narasi besar tentang naiknya gaji pejabat tinggi, mobil mewah untuk para menteri, rencana pembelian pesawat kepresidenan, dan hiruk-pikuk politik negeri ini. Bisa jadi Mbah Mus tak peduli ataupun tak mengikuti berita-berita itu, yang ia pahami hanyalah bekerja keras menyusuri jalanan Wonosobo yang dingin, demi menunaikan tanggungjawabnya sebagai kepala keluarga.

1 komentar:

  1. Mbah muswito ini penjual mie ongklok yg pernah masuk di acara jika aku menjadi yg ditayangin di transtv bukan ??

    Aq salut banget sm mbah mus,
    pengen bgt ketemu dan nyobain mie ongkloknya...

    BalasHapus